Kamis, 12 Maret 2009

IBNU RUSYD

Nama lengkapnya adalah Abu al-Wahid muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, ia lahir di Cadosa pada tahun 1126 M. dan berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia (Spanyol Islam), ayahnya adalah seorang hakim, demikian pula kakeknya yang terkenal sebagai seorang fikih. Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam studi-studi Islam. Al-Qur’an berserta penafsirannya, hadits Nabi, ilmu Fiqih, bahasa dan sastra Arab dipelajarinya secara lisan. Dia merevisi buku Malikiah, al-Muwatta yang dipelajarinya bersama ayah-nya Abu Al-Qosim dan dihafalnya. Dia juga mempelajarinya matematika, fisika, astronomi, logika filsafat dan ilmu pengobatan.
Selanjutnya, ia juga pernah menjadi dokter di istana di Cordova dan sebagai filosof ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar dikalangan istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub Al-Mansur (1184-99 M) sebagai filosof pengaruhnya dipeperangan antara sultan Abu Yusuf dan kaum kristen, Sultan berhajat pada sokongan kaum ulama dan kaum fuqaha’. Keadaan terbalik dan Ibnu Rusyd dapat disingkirkan oleh kaum ulama dan fuqaha’. Ia dituduh membawa falsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan diasingkan kesuatu tempat bernama Lucena didaerah Cordova. Kaum filosof mulai tidak disenangi lagi dan buku-bukunya banyak dibakar, Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal disana dalam usia 72 th pada tahun 1198 M.
Ibnu Rusyd meninggalkan kenang-kenangan dalam ilmu Hukum Bidayah al-Mujtahid dan dalam ilmu kedokteran kitab al-kuliat selain dari karanga-karangan dalam lapangan falsafat, dalam kedua bidang tersebut akhir ini ia banyak membuat ringkasan dan komentar tentang buku-buku Aristoteles dan Cladius Galen, seorang dokter ternama di abad kedua Masehi, kelainan Ibnu Rusyd dari filosof-filosof Islam lainnya seperti al-Kindi, al-Farabi, dan ibnu sina ialah bahwa ibnu Rusyd selain seorang filosof adalah ahli Fiqih.

Filsafat dan Agama
Persesuaian antara filsafat dan agama sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting filsafat Islam. Cara Ibn Rusyd memecahkan masalah ini benar-benar merupakan cara yang jenius sebagai seorang filosof, dia menyadari bahwa telah menjadi tugasnyalah membela para filosof dalam menangkis seranga-serangan keras dari para faqih dan teolog, terutama setelah mereka dikutuk oleh al-Ghazali dalam karyanya ketidaklogisan para filosof. Risalah Ibnu Rusyd yang berjudul : “Fash Al-Maqal Fi Bainal Hikmah Was-Syari’ah Minal Ittishal” merupakan suatu pembelaan bagi filsafat sepanjang filsafat tersebut serasi dengan agama.
Mengenai penyesuaian antara agama dan filsafat, ia menulis dua buah kitab kecil tetapi nilainya sangat besar. Al-Kasyf ‘An Manhaj Al-Adillah (metode-metode argumentasi) dan Fash Fi MA Baina Al-Hikmah. Aliran filsafat Ibnu Rusyd dapat dikatakan aliran rasionalisme, ia menguduskan dan mengagungkan akal yang dianggapnya sebagai dasar dari pengetahuan dan juga sebagai dasar dari wujud.
Filosof yang menganut faham rasionalisme harus mempercayai pertalian segala sesuatu dalam bentuk pertalian sebab dan akibat.
Keyakinan akan adanya hubungan sebab akibat itu merupakan landasan bagi sains dan merupakan landasan pula bagi filsafat rasionalisme, kemudian ia membagi semua sebab itu dalam empat macam seperti yang dikatakan oleh Aristoteles : Material, Formal, Efficient, dan Teological. Menurut dia, “Membuang semuanya ini berarti membatalkan dan menolak sains”.
Sejauh ini, agama dengan filsafat tujuan dan tindakan filsafat sama dengna tujuan dan tindakan agama, tinggal masalah keselarasan keduanya dalam metode dan permasalahan materi. Jika tradisional itu (al-manqul) ternyata bertentangan dengan rasional (al-ma’qut), maka yang tradisional harus ditafsirkan sedemikian rupa supaya selaras dengan yang rasional. Para ulama muslim pada masa lalu berusaha mengelak dari menafsirkan ayat-ayat semacam itu, sebab meraka takut akan mengacaukan pemikiran kaum awam, kaum Asyari’ah menafsirkan ayat-ayat semacam itu sebagai sesuatu yang duduk diatas singgasana, sedangkan kaum Hambaliah percaya bahwa ayat-ayat tersebut adalah “tersurat”. Sebagai filosof Ibnu Rusyd bersikap lain dari para ulama muslim itu (orang-orang Asy’ariah dan Hambaliah).
Para filosuf tidak boleh mengemukakan penafsiran esotesis mereka kepada orang awam bila tidak mau dituduh sebagai ahli bid’ah. Para teolog yang bertindak begitu, bertanggung jawab atas timbulnya berbagai madzab dalam Islam yang tuduh menuduh sebagai ahli bid’ah. Ringkasannya, filsafat ialah saudara kembar agama ; keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.

Jalan Menuju Tuhan
Setelah menjelaskan bahwa ajaran-ajaran agama memiliki makna tersurat dan tersirat yang simbolis bagi orang awam dan yang tersembunyi bagi kaum terpelajar. Ibnu Rusyd berusaha dalam bukunya“al-Kasyf an Manhaij al-Adillah”, menemukan jalan menuju Tuhan yaitu metode-metode yang ada di dalam al-Qur’an untuk mencapai kepercayaan akan eksistensi Tuhan dan pengetahuan sifat-sifatNya, menurut makna yang tersurat itu, sebab pengetahuan pertama yang boleh dimiliki oleh setiap orang yang berakal ialah pengetahuan tentang hal-hal yang akan membuatnya yakin akan eksistensi sang pencipta.
Pembuktian tentang penciptaan itu mencakup binatang, tumbuh-tumbuhan dan angkasa pembuktian ini juga didasarkan pad dua prinsip: bahwa semua makhluk tercipta dan bahwa segala yang tercipta itu pasti mempunyai pencipta. Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an : “Sesungguhnya yang selain Tuhan tidak akan dapat menciptakan seekor seranggapun mesti mereka semua bersatu”. Mereka yang ingin mengenal Tuhan harus mengetahui hakikat dan manfaat segala sesuatu agar bisa mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang penciptaan.

Jalan Menuju Pengetahuan
Jalan menuju pengetahuan adalah salah satu masalah besar yang di bahas oleh filsafat muslim, di karenakan oleh keterkaitannya dengan kemaujudan-kemaujudan yang lebih tinggi, yaitu “akal perantara” (agent intellect) yang dengan akal tersebut manusia berhubungan oleh Ibnu Rusyd akal dan ruh dibedakan dengan hati-hati dalam pemikirannya tentang proses pengetahuan.
Pengetahuan manusia tidak boleh dikacaukan dengan pengetahuan Tuhan, sebab manusia mencerap individu lewat indera dan mencerap hal-hal yang dicerapnya dan kemajemukan presepsi mengisyaratkan kemajemukan obyek. Mustahil bila pengetahuan Tuhan sama dengan pengetahuan kita, sebab pengetahuan kita merupakan akibat dari segala yang wujud sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari adanya segala sesuatu itu. Kedua pengetahuan tersebut itu sama sekali berbeda satu sama lain dan saling bertentangan. pengetahuan Tuhan itu kekal sedang pengetahuan itu sementara.

Jalan Menuju Ilmu
Ilmu, agama dan filsafat merupakan tiga bidang yang berbeda. Manusia didesak untuk mendapatkan cara tertentu untuk menyelaraskan aspek kultural ini yang terdapat pada masyarakat tempat tinggal, kalau tidak, maka yang kepribadiannya akan hancur. Ilmu diperlukan untuk menyejahtera-kan kehidupan semua orang dalam masyarakat berbeda.
Kemaujudan bendawi mereka bergantung dan terikat pada tingkat pengetahuan ilmiah mendasar sebagaimana dikemukakan oleh “Bergson” : “Dimasa lalu dan masa kini, kita dapati masyarakat menusia yang tidak mengenal ilmu, seni ataupun filsafat, tapi tak pernah ada suatu masyarakat pun yang tidak mengenal agama”.
Filsafat merupakan pencarian akan kebenaran, memang benar bahwa manusia merupakan hewan yang bersifat metafisik. Kebesaran para filosof terkenal seperti: Plato, Aristoteles, Ibn Sina, Ibnu Rusyd, Descrates, Imanuel Kant dan lain-lainnya terletak pada kemampuannya mereka menempatkan ketiga disiplin ini secara tepat, baik dalam lingkup pengetahuan maupun dalam aksi. Filosof muslim pertama memberikan penilaian yang tepat kepada ilmu tanpa mengurangi nilai agama dan dengan itu mereka menjadi orang-orang muslim sejati, hanya saja mereka menafsirkan agama dengan pengetahuan ilmiah dan filosof mereka sendiri.

Jalan Menuju Wujud
Dua jenis metafisik yang berbeda diterima oleh bangsa Arab yaitu metafisik tentang wujud dan metafisik tentang yang Esa, yang pertama dari Aristoteles dan yang kedua dari Plotinus.
Sebagai pengikut setia Aristoteles Ibnu Rusyd, dia mendefinisikan metafisik sebagai pengetahuan tentang wujud. Metafisik adalah bagian dari ilmu-ilmu teoritis. Ia mempelajari kemaujudan secara mutlak (bi–haq) prinsip-prinsip nonbendawi. Hal-hal fisis yang dapat dirasakan seperti kesatuan, kemajemukan, kemampuan, aktualitas dan sebagainya. Sebab-sebab segela yang ada disamping Tuhan dan wujud-wujud suci: ilmu fisika berhubungan dengan sebab-sebab dari wujud-wujud, sedangkan metafisik mempelajari sebab-sebab tertinggi dari hal-hal tertentu.
Pokok-pokok soal metafisik itu ada tiga studi mengenai :
1. Hal-hal yang dapat dirasa dan genus mereka, yaitu sepuluh kategori.
2. Prinsip-prinsip substansi, wujud-wujud tersendiri dan bagaimana mereka kesempurnaan utama dan sebab utama, dan
3. Ilmu-ilmu tertentu untuk membetul-kan cara berpikir yang menyesatkan.
Jelaslah bahwa bagian kedua dari pembagian ini adalah yang paling mendasar sifatnya dan yang kedua lainnya berkaitan dengannya. Karenanya Ibnu Rusyd memberikan ilmu yang mempelajari mengenai metafisik “Metafisik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara hal-hal yang ada mengenai tatanan hirarkis, sebab mereka sampai pada sebab utama”.

KONDISI UBUDIYAH MUSLIM MASA KINI

Muslim memiliki tujuan hidup untuk mempersembahkan ibadah dan seluruh karya baktinya sebagai ibadah kepada Allah swt. Karena itu embicarakan kondisi ibadah saat ini adalah urgent dan sangat strategis dalam rangka mecari jalan keluar untuk membangun kembali peradaban umat muslimin. Kondisi ibadah mahdhah ummat Islam yang paling mendasar merupakan tujuan hidupnya. Bahwa sebagian besar pribadi muslim tersebut tidak sempurna dalam melaksanakan ibadah dan dzikir ibadahnya, sehingga tidak khusyu’ , tidak adanya proses berfikir (‘aliman), memahami ( tafahhum), menghayati (tafakkur), sehingga mampu berdzikir lebih sempurna dengan bahasa hati pada Allah swt (dzikir qolbiyah ilahiah). Dengan demikianmaka Allah belum memberikan keberuntungan kepada kaum mulimin, seperti yang di janjikan-Nya dalam Q.S. al Mu’minun (23) : 1-2.
Kondisi muslim dewasa ini yang bisa khusyu’ sepertinya hanya kaum alim ulama saja(itupun sebagian), penganut Islam yang biasa-biasa (Islam KTP) sepertinya dibiarkan untuk tidak aka bisa atau tidak akan mampu mecapai tingkat khuyu’. Ini adalah penyakit budaya Nasrani yang masuk dalam budaya Islam yang melihat alim ulama sebagai suatu kelas yang memiliki wibawa yang lebih tingi kalau tidak dikatakan luar biasa. Mereka tidak menyadari bahwa Allah swt telah berjanji bahwasanya jika sebagian saja ummat Islam telah mampu dan berusaha untuk melaksanakan da mendirikan sholat dengan khusyu’ niscaya Allah telah memberikan keberuntungan. Karena kita tidak menembangkan suau metodologi yang bisa dipakai oleh setiap muslim untuk melaksanakan sholat denan khusyu’.
Shalat adalah tiang agama, dienul Islam. Karena itu shalat merupakan ibadah yang utama dan penting dalam menegakkan agama Allah. Di akhirat kelak Allah akan menanyakan terlebih dahulu tentang kualitas shalat pada diri kita. Jika dalam melaksanakan shalat saja, umat Islam tidak mengerti apa yang diucapkannya, bagaimana mungkin ia akan mencapai tingkatan khusyu’ dalam shalatnya; padahal, khuyu’nya shalat adalah syarat untuk mendapatkan keberuntungan dan kemenangan. Q.s 23: 1-2) yang atinya : “ sesungguhya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang0orang yang khusyu’ dalam shalatnya”.
Para sahabat bisa mencari pengalaman dari para tetanga di mushalla sahabat sendiri. Tanyakanlah arti lafadz-lafadz tertentu dalam shalat, berapa persen dari jamaah itu yang mengerti arti suatu lafaadz, katakana misalnya : warfa’nii, wa’aafinii, attahiyyatul, iyya kana’budu dan lainsebagainya. Umumnya, lebih dari 60%, bahkan kadang-kadang lebih dari 85% para jamaah tidak tahu arti dari lafadz-lafadz dimaksud. Lalu, bagaiman seseorang berkomunikasi dengan Tuhannya, jika ia tidak tahu apa yang di ucapkan dengan lisannya? Hanya karena hafalan, sama dengan meghafal lagu berbahasa Inggris atau Cina untuk mereka yang tidak megerti bahas Inggris dan Cina. Apa yang diperoleh dari tingkat kekhusyu’an seorang yang berkomunikasi dengan tuhannya jika tidak tahu arti, tidak mengerti apalagi memahami dan menghayati lafadz yang di ucapkan dengan lisannya. Sahabat telah sangat terbiasa menghafal-hafalkannya sejak kecil, sehingga sangat sulit bagi sahabat untuk mencoba kembali mengetahui arti dan pemahamannya.
Degan kata lain, keterpurkan kehidupan dan peradaban kaum muslimin dewasa ini adalah karena muslim itu tidak melakukan ibadahnya dengan khusyu’, karena tidak mengerti, tidak memahami dan selanjutnya tidak menghayati dalam shalatya, karena hanya menghafal-hafalkannya saja, padahal shalat adalah tiang agama Islam. Tidak khusyu’ beribadh karena tidak dilakukan dengan proses dzikir yang melibatkan fikir, tafahhum, dan tafakur (menghayati, melakukan proses penyadaran batin). Asumsinya, jika mencapai tingkat khusyu’, insyaAllah, Allah akan mengaruniai cahaya-Nya, berbentuk hudan, petunjuk, ide ilham, kesempatan setiap saat, kesempatan tidak terhingga, gerak hati manusia dan lain-lain, yang membuka peluang bagi yang bersagkutan untuk : 1) merenungkan kembali prestasi ibaah ritualnya dengan kodisi keimanan/aqidah yang telah dimilikinya, sehingga terjadi penyempurnaan keimanan dan aqidah dengan lebih bercahaya; 2) terjadinya proses penghayatan dan penyadaran yang dengan hidayah dan petunjuk-Nya itu akan mengarahkan cara berfikir, bersikap dan berperilaku menurut akhlak yang lebih mulia; 3) mengembangkan nafsu, iradahnya yang sekaligus memadukan dengan pengambangan kemampuan untuk mengendalikan nafsu, dalam kerangka mengembangkan rasa takut pada Allah untuk berbuat kemungkaran.
Akhlak mulia yang Sahabat dambakan dari setiap pribadi muslim bukan saja dalam arti berbuat baik pengertian charitisme, berderma, tetapi juga dalam hal berbuat yang lebih produktif, lebih berkinerja lebih tingi dan berkualitas tidak saja di bidang ekonomi,social, politik, tetapi juga di bidang budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang paling modern sekalipun. Akhlak mulia yang demikian itulah yang memungkinkan seseorang muslim mampu berkiprah melaksanakan misinya sebagai Khalifah Allah dimuka bumi.
Jadi secara umum kualitas Iman dan Ibadah ritual kaum muslimin dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. kondisi lemah dan mendangkalnya iman dan aqidah kaum muslimin, sehinga terdapat banyak kaum muslimin yang kurang percaya apalagi yakin bahwa segala sesuatu kenyatan di alam ini ( input, proses, output, apapun yang menyangkut dengan keberhasilan usaha dan ikhtiar seseorang dan klompok orang mutlak ditentukan oleh Allah swt. Kondisi lemahnya iman ummat Islam Indonesia antara lain karena salah asumsi : karena kita telah diangap beriman sejak lahir ( kenyataannya dilahirkan secara Islam, Muslim), asumsi yang dipegang bahwa kita telah beriman, padahal kenyatannya iman kita sangat dkal. Karena asumsi itu, tidak ada upaya untuk memperbaiki kualitas iman, kecuali menghafal enam rukun iman dan sifat 20 Allah.
2. Tidak mengerti apa yang diucapkan dalam ibadah-ibadah mahdhoh, terutama sholat sehinga tidak memahaminya, tidak mampu menghayatinya, tidak terjadi proses penyadaran batin pada diri yang beribadah, sehingga tidak memiliki dampak pada perubahan pola pikir, bersikap, berakhlak dan berperilaku.
3. Tidak berusaha dengan sungguh-sungguh, tidak terbiasa, tidak terlatih, dan tidak efektif melakukan ibadah secara khusyu’ sehingga tidak terjalin komunikasi qolbiyah illahiyah.
4. Kurang bahkan sebagian besar tidak memperhatikan pada mutu kelancaran proses dialog, bermunajat pada Allah dalam menyampaikan pesan dari seorang hamba kepada penciptanya.
5. Karena tidak terjadi dialog, tidak ada pesan yang lebih sempurna disampaikan kepada Allah, sehingga Allah tidak memberikan sesuatu ‘ keberuntungan, kemenangan’ kepada umat muslimin; terang saja, umat Islam itu sendiri tidak sadar akan nasibnya, dan tidak menyampaikan pesan dalam dialog itu, untuk perubahan nasibnya dan perubahan anak cucunya.
6. Lebih cenderung berorientasi fiqiyah, terpaku pada sah dan tidaknya rukun dan sarat, kurang mampu memperhatikan bagaimana memper- besar peluang diterimanya ibadah tersebut oleh Allah swt.(maqbul atau mabrur ibadahnya.
7. Terlalu banyak yang dipelajari dari komunias tertentu, terlalu sedikit yang dimengerti, dan karenanya terlalu sedikit pula yang di amalkan; misalnya anak-anak kelas dua atau tiga sudah di ajarkan teknis melaksanakan ibadah haji, meghafal aturan-aturan zakat bijibijian, ternak, bahan tambang dll.
8. Melaksanakan asal memenuhi kewajiban, asal sudah melakukan. Kurang disadari atau merasa sebagai kebutuhan untuk suatu kehidupan dan berprestasi.
9. Lafadz yang terkandung dan diucapkan dalam ibadah diutamakan pada hafalannya bukan pada penertian dan makna yang dimengerti, dipahami, dihayati sehingga merupakan suatu proses penyadaran batin.
10. Wirid ba’da shalat yang cukup panjang ketimbang kondisi dzikir (proses penghayatan dzikir) disetiap waktu dan tempat, dikala berdiri, duduk, dan berbaring.
11. Asal banyak ibadah sunnah kurang mementigkan kualitas komunikasi Qolbiyah Ilahiyahnya.
12. Pahala di akhirat, bukan pada ber -lomba-lomba berbuat kebajikan di dunia sebagai bekal untuk mendapatkan pahala di akherat.
13. Dakwah billisan ketimbang berimbang- nya dengan dakwah bil haal.
14. Berdasarkan tata pikir mendunia yang cenderung mengekploitasi alam dan manusia, ketimbang pada berfunsinya ajran pemeliharaan dan keseimbangan lingkugan yang diajarkan Allah.
15. Sikap fatalism: sikap berserah diri pada ketentuan nasib, kurang mementingkan semangat kerja, sehiga kurang ikhtiar utuk memperbaiki nasib dunia.

Utuk itulah sahabat perlu menemukan kembali suatu bentuk, funsi, peranan, cara berfikir, sikap, perilaku, dan metodologi da’I dan dkwah Islam yang memungkikan peradaaban Islam bangkit kembali sebagaimana sahabat telah belja dari sejaarah perkembann peradabaan Islam sebelumya(masa kejayaaaan Islam). Mari kita kaji bersama lewat Forum Mahasiswa dan Santri.

KONTEMPLASI

DALAM SUJUD PANJANGKU
Dalam sujud panjangku
dikeheningan malam
kuingin menumpahkan
seluruh air mataku
Dalam sujud panjangku
di atas sajadah lusuh
kuingin malam ini
tek segera berlalu
Dalam sujud panjangku
detik-detik akhir hayatku
kuingin semua orang tahu
ajal pasti menjemputmu
By: Nuryanti

SATU DARI SERIBU

Di antara seribu bintang
ada satu yang berpijar
Di antara seribu bunga ada satu yang mekar
ada satu yang berduri
Aku ingin jadi satu yang beda
di antara yang ada
tapi sayang aku bagian dari kebanyakan
Alangkah bahagianya hamba, Tuhan
jika aku satu dari seribu
yang senantiasa suci bagi-Mu
By: Yulianti


SEPERTIGA MALAM

Hening, kelam
Gelap tak bersuara
Sunyi senyap tak bernafas
Tetesan embun menyirami bumi
Angin malam menabuh dedaunan
Dingin, dingin semakin membeku
di sepertiga malam
Bersama nyanyian burung malam
Malaikat kepakkan sayap
hingga dilangit bumi
membawa salam dan senyum Tuhan
Adakah yang memohon ampunan?
Adakah yang akan bertaubat?

Di sepertiga malam
berjuta mutiara
akan segera ditaburkan
Kawan, gapailah!
Bunuhlah mimpi
dengan hunusan do’a-do’a
berlari dari pelukan malam
sujud simpuh disisi Tuhan
Sungguh…..
sepertiga malam
penuh belaian Tuhan
By: Muchsin Ghazali

GARIS-GARIS BESAR HALUAN UMAT YANG ABADI

Allah swt telah berjanji pada diri-Nya bahwa barang siapa membaca al-Qur’an, mengikuti al-Qur’an, mengamalkan apa yang ada di dalamnya, melaksanakan perintah-perintah al-Qur’an, dan menjauhi larangan-larangan al-Qur’an, niscaya orang tersebut tidak akan tersesat di dunia di saat umat manusia lain tersesat, dan tidak akan sengsara di akhirat, di hari dikala umat manusia sengsara. Sebaliknya barang siapa berpaling dari Al-Qur’an, enggan me-nghayati makna dari al-Qur’an (tadabur), membelakangi firman-firman-Nya, enggan membaca, merenungkan, dan me-ngamalkannya, maka Allah akan membuat kehidupan dunianya sempit, menjadikan dirinya rendah, merugi, dijauhkan dari rahmat Allah, dan kelak di akhirat Allah akan menjadikannya hina, mempermalukannya di depan para makhluk, dan menghukumnya. Seperti dalam firman Allah Surat Thaha ayat 124-125.
Orang yang melupakan Al-Qur’an kehidupannya sempit yaitu ditutupnya pintu pengharapan bagi dirinya oleh allah swt; juga kesenangan kesuksesan, dan ke-bahagiaan. Betapapun kekayaan, keturunannya, betapapun tinggi kedudukannya, tetapi Allah murka pada dirinya, menjadikannya hina, seolah-olah segala macam laknat ditimpakan pada wajahnya.
Oleh karena itu allah berfirman pada umat manusia, Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan datang dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak didalamnya. (an-Nisa’ :82)
Artinya, apakah mereka tidak merenungkan kitab yang agung ini? Jika kitab ini buatan manusia, niscaya disana terdapat banyak kekurangan, sisi-sisi negatif, dan pertentangan. Maka apa gerangan yang menghalangi mereka untuk merenungkan Kitab Allah Yang Maha Bijaksana?
Allah juga berfirman
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad : 24)
Mata hati mereka tertutup oleh kemaksiatan dan kejahatan sehinga tidak menyadari dan memahami Al-Qur’an. Dalam Firman Allah swt dalam surat Shad ayat 29 dikemukakan bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang diturunkan kepada umat manusia dengan penuh berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.
Oleh sebab itu Rasulullah saw membangkitkan semangat Al-Qur’an dalam jiwa para sahabat beliau, menjadikan mereka sebagai umat terbaik yang berjalan, dan sebaik-baiknya manusia yang menegakkan hukum Allah di atas bumi.
Bahkan jika salah seorang diantara mereka mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, jiwa mereka berkobar dan menyala oleh semangat hidayah dan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah diterangkan Ketika Rasulullah saw sedang hijrah beliau berpapasan dengan Abdullah bin Mas’ud ra sebelum memeluk islam. Dia masih kanak-kanak dan sedang mengembalakan kambing. Rasulullah saw meminta-nya sedikit air susu tetapi Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa domba-dombanya sedang tidak mengeluar-kan air susu. Namun demikian seekor domba mendekat Rasulullah saw, lalu beliau mengusap putting domba itu dan mem-baca Basmallah, memohon berkah, dan membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud berkata,” Ajari aku sesuatu tentang ini!” lalu beliau bersabda “Sungguh engkau adalah anak yang terpelajar.”
Ibnu Mas’ud masuk Islam, dengan demikian Islam telah menambah dirinya cahaya, kecerdasan, dan semangat. Tiada pernah sejarah mencatat agama seperti Islam. Ketika mendengar surat ar-Rahman, ia menghafalkan-nya pada kesempatan pertama. Lalu Ibnu Mas’ud berjalam menuju masjidil Haram, mendatangi patung-patung kesesatan, dan para pembesar jahiliyah seperti halnya Abu Jahal dan Abu Lahab menghalang-halanginya. Ketika Ibnu Mas’ud berdiri dan membacakan kepada mereka surat ar-Rahman mereka bersama-sama memukuli wajah mulia Ibnu Mas’ud, tetapi beliau tidak menghentikan bacaannya. Setelah selesai membaca seluruh surat, Ibnu Mas’ud jatuh pingsan.
Ibnu Mas’ud adalah orang yang kecil perawakannya, tetapi agama ini dan Al-Qur’an telah mendatangkan begitu banyak keajaiban pada dirinya. Para penulis sejarah menyebutkan bahwa jika Ibnu Mas’ud berdiri, maka sama dengan orang orang yang sedang duduk. Tetapi hanya Allah swt yang mengetahui kebahagiaan yang dirasakan dalam hatinya.
Dalam hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban dikemukakan suatu ketika ada orang-orang yang saling menertawakan ukuran betisnya yang amat kecil dan ba- dannya yang kelewat kurus. Maka Rasulullah saw berkata,” apakah kalian menertawakan kecilnya betis Ibnu Mas’ud? Demi Allah (yang jiwaku berada di tangan-Nya), sesungguhnya keduanya dalam mizan pada hari kiamat lebih berat dari gunung uhud.”
Inilah sesungguhnya makna keagungan; keagungan sebuah hati. Inilah arti kekuatan yang bersumber dari jiwa. Orang-orang yang sengsara berguguran, meskipun badan mereka besar.

Wahai yang menginginkan naungan di hari yang panas oleh matahari di hari kiamat, disaat terjadinya malapetaka di hari yang menakutkan! Bernaunglah di bawah ayat-ayat Allah swt.

Hati yang sama sekali tidak sadar akan al-Qur’an adalah hati yang sia-sia, hati yang terlaknat, hati yang terkalahkan, dan hati yang dimurkai.

Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap hati yang tidak disinari cahaya al-Qur’an adalah hati yang terlaknat dan setiap jiwa yang tidak pernah terbit darinya cahaya agama ini adalah jiwa yang trerlaknat”. Rasulullah saw bersabda,” Sesungguhnya manusia yang dalam hatinya tidak ada sedikitpun al-Qur’an adalah laksana rumah yang hancur”(HR.Ahmad, Tirmidzi dan ad-Darimi)

Salah seorang pemuka umat islam yang mempunyai ilmu yang mendalam tentang al-Qur’an dan hidup bersama al-Qur’an adalah Ubbayy bin Ka’ab ra.
Allah menurunkan surat al-Bayyinah ayat 1. yang artinya : orang-orang kafir yakni Ahlul kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata; untuk Ubayy bin Ka’ab. Bahkan Rasulullah saw datang langsung kerumah Ubayy bin Ka’ab dan membacakan ayat tersebut.
Suatu ketika, Rasulullah saw menjadi imam dalam shalat. Beliau melewati sebuah ayat dari surat yang dibacanya karena lupa. Ketika salam, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau melewati sebuah ayat, apakah telah di-nasakh atau engkau lupa?”
“apakah di antara kaum di sini ada ubayy bin Ka’ab?” Rasulullah bertanya.
Mereka menjawab, “Benar, ada ya Rasulullah.”
Rasulullah bertanya,” Wahai Abu Mundzir, apakah aku melupakan satu ayat?” Ubayy menjawab, Ya, benar.”
Rasul bertanya,”Apa yang menghalangimu? Mengapa engkau tidak menegur?” (HR. Ahmad)
Dalam kasus ini Rasulullah saw memberi contoh untuk menyampaikan permasalahan kepada ahlinya.

Para sahabat Rasulullah saw saat itu tidak merasa ada sesuatu yang membuat mereka sibuk sehingga melalaikan al-Qur’an. Tetapi zaman ini, kebanyakan manusia merasa uzur oleh alasan anak, Keluarga, bisnis, atau jabatan, sehingga tidak ada lagi waktu untuk membaca dan merenungkan al-Qur’an. Jika demikian halnya, mereka digolongkan tidak “hidup.”

Utsman ra adalah seorang khalifah. Meskipun sebagai khalifah, pemimpin umat, dan segala urusan umat berada di kedua tangannya, tetapi Utsman tidak merasa di sibukkan oleh urusannya sehingga malalaikan al-Qur’an.
Maka wajib bagi muslim agar tidak terhalangi oleh kesibukan dan gangguan sehingga mengesampingkan al-Qur’an. Wajib baginya untuk hidup dengan sungguh-sungguh sebagai muslim jika ia mengharap kehidupan yang sejati dan kebahagiaan dunia dan akherat.
Kita adalah umat yang kekal, tetapi kita tidak akan kekal selain dengan kitab yang agung. Kita tidak akan kekal selain dengan syariat Nabi kita saw. Jika kita mengabaikan dan meninggalkannya, niscaya kita akan musnah. Demi Allah! Lalu kita akan menjadi kurban isme-isme yang destruktif dan kita akan dikuasai umat lain.
Atas alasan demikian ini, orientalis Hongaria Goldziher mengatakan, “ Orang-orang Arab itu tidak akan mungkin ditaklukkan selama masih ada tiga hal yang dimiliki mereka –yang dimaksud mereka disini adalah umat Islam– sebab tiada ke-Araban jika terpisah dari Islam dan tiada ke-Islaman selain dia yang berserah diri pada Allah. Tiga hal ini adalah sholat jum’at, kitab yang agung yakni kitabullah, dan dua Masjid Haram yang mulia, yakni kiblat Ka’bah dan Masjid Nabawi.”
Jika tiga hal itu masih ada pada kita, insya Allah, kita akan kekal.

Sesungguhnya al-Qur’an ini merupakan garis-garis besar haluan umat yang abadi. Wahai anak cucu orang yang membawa petunjuk kepada umat manusia, wahai anak cucu manusia yang mengajarkan” La ilaha illallah”, yang membawa panji ” La ilaha illallah” itu seraya mengagungkan dan membesarkan nama Allah di barat dan di timur! Sesungguhnya umat ini adalah umat pemuka, yang memberikan kepada manusia dari al-Qur’an, tetapi tidak mengambil sesuatupun dari mereka. Umat ini mengarahkan pada manusia pada kebenaran, tetapi mereka tidak!

Kita telah mendapat bukti sejarah bahwa selama kita berpegang teguh pada al-Qur’an, selama itu pula kita akan meraih kemenangan; sebaliknya selama kita meninggalkan al-Qur’an, kita akan terhina!
Pada abad ke-8 H, pengamalan al-Qur’an pernah di abaikan. Maka datanglah kelompok ar-Rafidhah membonceng kekuat-an Tartar dari Mongol dipimpin Jengis Khan. Dalam tempo delapan hari, 800.000 orang tewas terbunuh, Masjid-Masjid luluh lantah, mushaf-mushaf al-Qur’an di bakar, dan tentara Tartar membasmi anak-anak dan wanita kita! Kembalilah wahai generasi muda dan tetua umat kepada al-Qur’an, kembalilah kaum lelaki dan wanita umat ini kepada al-Qur’an! Hidupkan rumah kalian dengan al-Qur’an, bangkitkan kalbu kalian dengan al-Qur’an, dan ramaikan hati ini dengan kitab Allah! Semoga Allah swt menguatkan jiwa kita dengan ayat-ayat-Nya, mengembalikan kita kepada al-Qur’an dengan cara kembali yang baik, dan memberi petunjuk kita kejalan yang lurus.

Para ulama memberikan pen-jelasan bahwa mengabaikan al-Qur’an itu terdiri dari lima tingkatan : mengabaikan bacaan al-Qur’an, mengabaikan penghayatan al-Qur’an (tadabur), meng-abaikan pengalaman al-Qur’an, mengabaikan pencarian kesembuhan dari al-Qur’an, mengabaikan al-Qur’an sebagai sumber hukum bagi kehidupan manusia.

Pertama, mengabaikan bacaan al-Qur’an. Yakni ketika seorang enggan membaca al-Qur’an, tidak ada satu hizib-pun yang dibacanya dalam sehari, tidak menengoknya, tidak memerhatikan baris-baris tulisan al-Qur’an, dan tidak hidup bersama ayat-ayatnya. Dia adalah hamba yang tersesat, yang tunduk pada hawa nafsu, yang merasa tidak membutuhkan al-Qur’an. Bahkan diantara mereka tidak pernah menyentuh al-Qur’an selain bulan Ramadlan!

Kedua, mengabaikan peng-hayatan al-Qur’an. Yakni orang yang membaca al-Qur’an tetapi lalai, terlena, dan dipermainkan oleh pikirannya. Dia menyuarakan dengan lisannya tetapi hatinya di pasar, di sawah, di kantor, atau di sekolah. Pikiran melayang melihat manusia, mata melihat, mulut berbicara tetapi tidak mengerti atau pun tak berusaha mengerti. Dia termasuk orang yang mengabaikan penghayatan al-Qur’an. Ia hanya men-dapatkan pahala tilawah.

Ketiga, mengabaikan al-Qur’an, baik dari segi tilawah, tadabur, maupun pengalaman al-Qur’an. Manusia-manusia sepeti itu sungguh telah ditutup rapat hatinya dan mengikuti hawa nafsunya. Rasulullah saw menjadi saksi atas mereka. Jika mereka membaca al-Qur’an, ia akan menjadi hujah yang memberatkan mereka, bukan hujjah yang membela mereka. Sebab mereka tidak mengamalkan al-Qur’an, tidak shalat bersama yang lain di masjid, tidak pernah bersuci, tidak beretika seperti adab yang diajarkan al-Qur’an. Bahkan mereka menghina dan merendahkan orang-orang saleh. Golongan ini mirip orang munafik bahkan mereka adalah orang munafik.

Keempat, mengabaikan upaya mencari kesembuhan dari al-Qur’an. Sekelompok orang mengatakan bahwa merupakan lelucon jika al-Qur’an itu dibacakan kepada orang yang sedang sakit atau orang yang pingsan. Bagaimana mereka bisa sembuh dengan al-Qur’an, bagaimana mungkin al-Qur’an dijadikan obat? Perkataan mereka itu telah berlawanan dengan dalil akal maupun naql ( dalil dari kitab dan sunnah).
Dari sisi naql banyak sekali nash yang menunjukkan bahwa al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber kesembuhan dan pengobatan. Berdasarkan pertimbangan akal, hal itu tidak bertentangan dengan hukum sebab akibat, yang diantaranya adalah bahwa terapi kesembuhan dengan cara menyegarkan jiwa dan membuatnya bahagia. Dalam hal ini al-Qur’an telah berbuat banyak dalam memberi kesegaran dan kebahagiaan jiwa. Oleh sebab itu rasulullah saw mencari kesembuhan dari al-Qur’an dan dengan membaca al-Qur’an. Ketika mendapat serangan sihir dari seorang yahudi, beliau membaca al-Mu’awwidzatain (surat an-Naas dan al-Falaq) dan Allah menyembuhkannya. Jika hendak tidur, Rasulullah saw mengusap badannya dan membaca do’a-do’a perlindungan.

Kelima, mengabaikan al-Qur’an dan menjadikan al-Qur’an hanya untuk dibaca-kan dalam pertemuan-pertemuan, dalam pesta, atau diatas kuburan. Namun jika al-Qur’an harus diterapkan dalam kehidupan nyata –seperti pada persoalan ekonomi, politik, pemerintahan, atau dalam bidang seni budaya– mereka berpaling dan meninggalkan al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa agenda-agenda kehidupan itu merupakan persoalan tersendiri dan terpisah dari al-Qur’an.
Mereka tidak memahami bahwa fungsi al-Qur’an itu adalah sebagai petunjuk umat manusia, sebagai sumber hukum bagi umat manusia; yang meliputi aspek ekonomi, militer, hubungan manusia dengan sesama, dan segala yang bertalian dengan aktifvitas kehidupan. Sebab al-Qur’an merupakan pedoman hidup, pembimbing menuju akhirat, dan pengarah bagi jiwa.
Tidak dibenarkan jika ada alasan yang merintangi kalian dari kitab Allah.
Hidupkanlah al-Qur’an dalam rumah kalian, dalam hubungan keluarga, di sekolah, dalam kendaraan dan dimanapun anda; agar dengan demikian Allah mengekalkan kedamaian dan keselamatan,
agar Allah tidak murka kepada kita sehingga Dia akan mengguncangkan hidup kita sebagai-mana Dia mengguncangkan umat lain. Dan membinasakan kita seperti umat yang telah dibinasakan oleh-Nya. Sungguh adzab Allah swt tidak akan dapat ditolak oleh orang-orang yang berbuat kejahatan.
Dan ketahuilah bahwa diantara hal-hal yang bertentangan dengan al-Qur’an adalah nyanyian-nyanyian yang memabuk-kan, yang telah menjadikan generasi kita pemalas, kehilangan jati diri, dan tersesat jalan.

Jika seseorang dari mereka menjadi dewasa dan menginjak usia 15 tahun,
maka ia menjadi terbiasa larut dalam nyanyian sehari semalam, lalai akan tugas dan masa depan dirinya, dan lebih-lebih lagi lalai pada kematian yang akan memulangkannya kepada Allah. Dia tidak menyadiri posisi dirinya dalam hidup, kemudian tak berapa lama orang menyebutnya ”Remaja yang bintangnya sedang melambung”. Tidak! Sejatinya dia tidak sedang naik tetapi malah terpuruk. Sebab sesungguhnya orang yang “di atas” adalah yang menghargai diri sendiri dengan melakukan sujud kepada Allah, yang menghidupkan “la ilaha illallah” dalam jiwanya yang menjadi mulia oleh penghambaan dirinya kepada Allah, dan yang menjaga diri dari perbuatan maksiat.

Pun sebaliknya ada beberapa hal yang membuat kita menjadi ahli al-Qur’an yaitu
Pertama, mnyibukkan diri dengan al-Qur’an. Kita ushakan kehidupan kita tidak lepas dari al-Qur’an dengan cara memberikan waktu luang untuk membacanya. Dalam sebuah hadits qudsi, Nabi saw menyatakan : “Tuhan Azza Wa Jalla berfirman : “barang siapa yang disibukkan al-Qur’an dan mengingat Aku, Aku akan memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik dari apa yang dipinta oleh orang-orang yang meminta (kepada-Ku).
Keutamaan firman allah (al-Qur’an) dibandingkan dengan seluruh perkataan (lain) adalah laksana keutamaan Allah disbanding dengan ciptaan-Nya”(HR. Turmudzi)
Hadits lain menyebutkan, Rasulullah saw bersabda :”Bacalah oleh kalian al-Qur’an ini, dan janganlah kalian tertipu oleh lembaran-lembaran yang tergantung ini. Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa hati yang sadar akan al-Qur’an (HR. al-Darimiy).
Kedua, mentadabburi isinya. Kita berusaha untuk menghyati apa yang kita baca(al-Qur’an). Sehingga kita benar-benar akan menemukan bahwa al-Qur’an itu adalah benar-benar diturunkan dari Allah swt. Karena kalau diturunkan selain dari Allah, niscaya mengandung kontradiksi dan kesalahan. Disamping itu dalam surat Muhammad ayat 24 disebutkan bahwa kita dianjurkan untuk mentadaburri al-Qur’an.
Ketiga, mengamalkan kandungan al-Qur’an. Sungguh al-Qur’an tidak akan memancarkan cahaya jika ia tidak dipublikasikan oleh para “ahlinya”, dan kalau bukan kita umat muslim siapa lagi yang akn mempublikasikan dengan cara mengaplikasikannya dalam kehidupan kita. Selain berusaha untuk mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari kita juga dituntut untuk m al-Qur’an itu kepada orang lain. Dalam hadits riwayat Bukhari dinyatakan “Bahwa sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkannya kepada orang lain.” Untuk itulah Nabi berwasiat kepada Abu Dzar al-Ghifari: “Hendaklah engkau membaca al-Qur’an, ia adalah cahayamu di dunia dan menjadikanmu disebut-sebut di atas langit” (HR. Abu Ya’la)
Hasan al-Bashri berkata :” carilah kelezatan dalam tiga hal : dalam shalat, dalam melakukan dzikir dan dalam membaca al-Qur’an. Kalian akan merasakannya, jika tidak berarti pintu hati telah tertutup.”
Utsman juga berkata : “ jika hati kalian itu bersih, niscaya ia tidak akan pernah kenyang dari perkataan Tuhan kalian” itulah potret dari ahli al-Qur’an. Karena mereka tahu bahwa itu kitab pilihan, dibawa oleh utusan pilihan (jibril), diturunkan kepada Nabi pilihan untuk dihadiahkan kepada umat pilihan.
Tidakkah kita ingin hati kita selalu disinari oleh cahaya al-Qur’an. Tidakkah kita ingin menjadi “ahli al-Qur’an” seperti mereka? Mudah-mudahan dengan memahami dan mengamalkan fungsi al-Qur’an diatas, kita dapat menjadi “ ahli al-Qur’an” :yaitu orang yang benar-benar meresapi, memahami, dan mengamalkan isi (kandungan) al-Qur’an dalam kehidupan.

Ciri – istri

carilah istri dengan ciri" sebagai berikut
Seorang gadis kecil bertanya kepada ayahnya,
Abi ceritakan padaku tentang Akhwat sejati!
Sang ayah pun menoleh sambil kemudian
Tersenyum ;


Anakku. ..

Akhwat sejati bukan dilihat dari
kecantikan paras wajahnya,
tetapi dari kecantikan hati yang ada
dibaliknya.
Akhwat sejati bukan dilihat dari bentuk
tubuhnya yang mempesona,
tetapi
dari sejauh mana dia menutup tubuhnya.

Akhwat sejati bukan dilihat dari begitu
banyaknya kebaikan yang dia berikan,
tetapi dari keikhlasan dia memberikan
kebaikan itu.

Akhwat sejati bukan dilihat dari
seberapa indah lantunan suaranya,
tetapi dari apa yang sering mulutnya
bicarakan.

Akhwat sejati bukan dilihat dari
keahliannya berbicara,
tetapi
dari bagaimana caranya berbicara.

Sang ayah diam sejenak sembari melihat
kearah putrinya.
Lantas apalagi Abi?, sahut putrinya

Ketahuilah putriku...

Akhwat sejati bukan dilihat dari
keberaniannya berpakaian,
tetapi
dari sejauh mana dia mempertahankan
kehormatannya.

Akhwat sejati bukan dilihat dari
kekhawatirannya digoda orang di jalan,
tetapi
dari kekhawatiran dirinyalah yang
mengundang orang menjadi tergoda.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari
seberapa banyak dan besarnya ujian yang
dia jalani,
tetapi
dari sejauh mana dia menghadapi ujian
itu dengan penuh kesabaran dan rasa syukur.


Dan ingatlah...
Akhwat sejati bukan dilihat dari sifat
supelnya bergaul,
tetapi dari sejauh mana dia bisa menjaga
kehormatannya dalam bergaul.


Setelah itu, sang anak kembali bertanya,
Siapakah yang dapat menjadi kriteria
seperti itu, Abi?

Sang ayah memberikan sebuah buku dan
berkata,
Pelajarilah Mereka!

Sang anak pun mengambil buku itu dan
terlihatlah sebuah tulisan,

ISTRI RASULULLAH