Kamis, 12 Maret 2009

IBNU RUSYD

Nama lengkapnya adalah Abu al-Wahid muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, ia lahir di Cadosa pada tahun 1126 M. dan berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia (Spanyol Islam), ayahnya adalah seorang hakim, demikian pula kakeknya yang terkenal sebagai seorang fikih. Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam studi-studi Islam. Al-Qur’an berserta penafsirannya, hadits Nabi, ilmu Fiqih, bahasa dan sastra Arab dipelajarinya secara lisan. Dia merevisi buku Malikiah, al-Muwatta yang dipelajarinya bersama ayah-nya Abu Al-Qosim dan dihafalnya. Dia juga mempelajarinya matematika, fisika, astronomi, logika filsafat dan ilmu pengobatan.
Selanjutnya, ia juga pernah menjadi dokter di istana di Cordova dan sebagai filosof ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar dikalangan istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub Al-Mansur (1184-99 M) sebagai filosof pengaruhnya dipeperangan antara sultan Abu Yusuf dan kaum kristen, Sultan berhajat pada sokongan kaum ulama dan kaum fuqaha’. Keadaan terbalik dan Ibnu Rusyd dapat disingkirkan oleh kaum ulama dan fuqaha’. Ia dituduh membawa falsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan diasingkan kesuatu tempat bernama Lucena didaerah Cordova. Kaum filosof mulai tidak disenangi lagi dan buku-bukunya banyak dibakar, Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal disana dalam usia 72 th pada tahun 1198 M.
Ibnu Rusyd meninggalkan kenang-kenangan dalam ilmu Hukum Bidayah al-Mujtahid dan dalam ilmu kedokteran kitab al-kuliat selain dari karanga-karangan dalam lapangan falsafat, dalam kedua bidang tersebut akhir ini ia banyak membuat ringkasan dan komentar tentang buku-buku Aristoteles dan Cladius Galen, seorang dokter ternama di abad kedua Masehi, kelainan Ibnu Rusyd dari filosof-filosof Islam lainnya seperti al-Kindi, al-Farabi, dan ibnu sina ialah bahwa ibnu Rusyd selain seorang filosof adalah ahli Fiqih.

Filsafat dan Agama
Persesuaian antara filsafat dan agama sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting filsafat Islam. Cara Ibn Rusyd memecahkan masalah ini benar-benar merupakan cara yang jenius sebagai seorang filosof, dia menyadari bahwa telah menjadi tugasnyalah membela para filosof dalam menangkis seranga-serangan keras dari para faqih dan teolog, terutama setelah mereka dikutuk oleh al-Ghazali dalam karyanya ketidaklogisan para filosof. Risalah Ibnu Rusyd yang berjudul : “Fash Al-Maqal Fi Bainal Hikmah Was-Syari’ah Minal Ittishal” merupakan suatu pembelaan bagi filsafat sepanjang filsafat tersebut serasi dengan agama.
Mengenai penyesuaian antara agama dan filsafat, ia menulis dua buah kitab kecil tetapi nilainya sangat besar. Al-Kasyf ‘An Manhaj Al-Adillah (metode-metode argumentasi) dan Fash Fi MA Baina Al-Hikmah. Aliran filsafat Ibnu Rusyd dapat dikatakan aliran rasionalisme, ia menguduskan dan mengagungkan akal yang dianggapnya sebagai dasar dari pengetahuan dan juga sebagai dasar dari wujud.
Filosof yang menganut faham rasionalisme harus mempercayai pertalian segala sesuatu dalam bentuk pertalian sebab dan akibat.
Keyakinan akan adanya hubungan sebab akibat itu merupakan landasan bagi sains dan merupakan landasan pula bagi filsafat rasionalisme, kemudian ia membagi semua sebab itu dalam empat macam seperti yang dikatakan oleh Aristoteles : Material, Formal, Efficient, dan Teological. Menurut dia, “Membuang semuanya ini berarti membatalkan dan menolak sains”.
Sejauh ini, agama dengan filsafat tujuan dan tindakan filsafat sama dengna tujuan dan tindakan agama, tinggal masalah keselarasan keduanya dalam metode dan permasalahan materi. Jika tradisional itu (al-manqul) ternyata bertentangan dengan rasional (al-ma’qut), maka yang tradisional harus ditafsirkan sedemikian rupa supaya selaras dengan yang rasional. Para ulama muslim pada masa lalu berusaha mengelak dari menafsirkan ayat-ayat semacam itu, sebab meraka takut akan mengacaukan pemikiran kaum awam, kaum Asyari’ah menafsirkan ayat-ayat semacam itu sebagai sesuatu yang duduk diatas singgasana, sedangkan kaum Hambaliah percaya bahwa ayat-ayat tersebut adalah “tersurat”. Sebagai filosof Ibnu Rusyd bersikap lain dari para ulama muslim itu (orang-orang Asy’ariah dan Hambaliah).
Para filosuf tidak boleh mengemukakan penafsiran esotesis mereka kepada orang awam bila tidak mau dituduh sebagai ahli bid’ah. Para teolog yang bertindak begitu, bertanggung jawab atas timbulnya berbagai madzab dalam Islam yang tuduh menuduh sebagai ahli bid’ah. Ringkasannya, filsafat ialah saudara kembar agama ; keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.

Jalan Menuju Tuhan
Setelah menjelaskan bahwa ajaran-ajaran agama memiliki makna tersurat dan tersirat yang simbolis bagi orang awam dan yang tersembunyi bagi kaum terpelajar. Ibnu Rusyd berusaha dalam bukunya“al-Kasyf an Manhaij al-Adillah”, menemukan jalan menuju Tuhan yaitu metode-metode yang ada di dalam al-Qur’an untuk mencapai kepercayaan akan eksistensi Tuhan dan pengetahuan sifat-sifatNya, menurut makna yang tersurat itu, sebab pengetahuan pertama yang boleh dimiliki oleh setiap orang yang berakal ialah pengetahuan tentang hal-hal yang akan membuatnya yakin akan eksistensi sang pencipta.
Pembuktian tentang penciptaan itu mencakup binatang, tumbuh-tumbuhan dan angkasa pembuktian ini juga didasarkan pad dua prinsip: bahwa semua makhluk tercipta dan bahwa segala yang tercipta itu pasti mempunyai pencipta. Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an : “Sesungguhnya yang selain Tuhan tidak akan dapat menciptakan seekor seranggapun mesti mereka semua bersatu”. Mereka yang ingin mengenal Tuhan harus mengetahui hakikat dan manfaat segala sesuatu agar bisa mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang penciptaan.

Jalan Menuju Pengetahuan
Jalan menuju pengetahuan adalah salah satu masalah besar yang di bahas oleh filsafat muslim, di karenakan oleh keterkaitannya dengan kemaujudan-kemaujudan yang lebih tinggi, yaitu “akal perantara” (agent intellect) yang dengan akal tersebut manusia berhubungan oleh Ibnu Rusyd akal dan ruh dibedakan dengan hati-hati dalam pemikirannya tentang proses pengetahuan.
Pengetahuan manusia tidak boleh dikacaukan dengan pengetahuan Tuhan, sebab manusia mencerap individu lewat indera dan mencerap hal-hal yang dicerapnya dan kemajemukan presepsi mengisyaratkan kemajemukan obyek. Mustahil bila pengetahuan Tuhan sama dengan pengetahuan kita, sebab pengetahuan kita merupakan akibat dari segala yang wujud sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari adanya segala sesuatu itu. Kedua pengetahuan tersebut itu sama sekali berbeda satu sama lain dan saling bertentangan. pengetahuan Tuhan itu kekal sedang pengetahuan itu sementara.

Jalan Menuju Ilmu
Ilmu, agama dan filsafat merupakan tiga bidang yang berbeda. Manusia didesak untuk mendapatkan cara tertentu untuk menyelaraskan aspek kultural ini yang terdapat pada masyarakat tempat tinggal, kalau tidak, maka yang kepribadiannya akan hancur. Ilmu diperlukan untuk menyejahtera-kan kehidupan semua orang dalam masyarakat berbeda.
Kemaujudan bendawi mereka bergantung dan terikat pada tingkat pengetahuan ilmiah mendasar sebagaimana dikemukakan oleh “Bergson” : “Dimasa lalu dan masa kini, kita dapati masyarakat menusia yang tidak mengenal ilmu, seni ataupun filsafat, tapi tak pernah ada suatu masyarakat pun yang tidak mengenal agama”.
Filsafat merupakan pencarian akan kebenaran, memang benar bahwa manusia merupakan hewan yang bersifat metafisik. Kebesaran para filosof terkenal seperti: Plato, Aristoteles, Ibn Sina, Ibnu Rusyd, Descrates, Imanuel Kant dan lain-lainnya terletak pada kemampuannya mereka menempatkan ketiga disiplin ini secara tepat, baik dalam lingkup pengetahuan maupun dalam aksi. Filosof muslim pertama memberikan penilaian yang tepat kepada ilmu tanpa mengurangi nilai agama dan dengan itu mereka menjadi orang-orang muslim sejati, hanya saja mereka menafsirkan agama dengan pengetahuan ilmiah dan filosof mereka sendiri.

Jalan Menuju Wujud
Dua jenis metafisik yang berbeda diterima oleh bangsa Arab yaitu metafisik tentang wujud dan metafisik tentang yang Esa, yang pertama dari Aristoteles dan yang kedua dari Plotinus.
Sebagai pengikut setia Aristoteles Ibnu Rusyd, dia mendefinisikan metafisik sebagai pengetahuan tentang wujud. Metafisik adalah bagian dari ilmu-ilmu teoritis. Ia mempelajari kemaujudan secara mutlak (bi–haq) prinsip-prinsip nonbendawi. Hal-hal fisis yang dapat dirasakan seperti kesatuan, kemajemukan, kemampuan, aktualitas dan sebagainya. Sebab-sebab segela yang ada disamping Tuhan dan wujud-wujud suci: ilmu fisika berhubungan dengan sebab-sebab dari wujud-wujud, sedangkan metafisik mempelajari sebab-sebab tertinggi dari hal-hal tertentu.
Pokok-pokok soal metafisik itu ada tiga studi mengenai :
1. Hal-hal yang dapat dirasa dan genus mereka, yaitu sepuluh kategori.
2. Prinsip-prinsip substansi, wujud-wujud tersendiri dan bagaimana mereka kesempurnaan utama dan sebab utama, dan
3. Ilmu-ilmu tertentu untuk membetul-kan cara berpikir yang menyesatkan.
Jelaslah bahwa bagian kedua dari pembagian ini adalah yang paling mendasar sifatnya dan yang kedua lainnya berkaitan dengannya. Karenanya Ibnu Rusyd memberikan ilmu yang mempelajari mengenai metafisik “Metafisik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara hal-hal yang ada mengenai tatanan hirarkis, sebab mereka sampai pada sebab utama”.

Tidak ada komentar: