Kamis, 12 Maret 2009

Saat Cinta berpaling Darimu ( Pengalaman sejati seorang istri - Asma Nadia )

Apakah dia merasa putus asa ketika mengetahui bahwa gaji
suaminya yang masih kuliah itu hanya 200 ribu sebulan?
Apakah dia putus asa ketika mereka harus berpindah-pindah
kontrakan dari satu rumah mungil ke rumah mungil yang lain?
Apakah perempuan itu mengeluh, ketika berbulan-bulan hanya
makan tempe dan sayur, yang masing-masing dibeli seribu rupiah
di warung, ketika sang suami tak bekerja cukup lama?

Jawabannya tidak.
Perempuan berwajah manis, yang saya kenal itu sebaliknya
selalu terlihat cerah, seolah permasalahan ekonomi yang
menerpa keluarga kecil mereka, tak
berarti apa-apa.

Pun ketika kesulitan hidup terus berlanjut. Menjelang
kelahiran anak pertama mereka, suami masih belum memiliki
pekerjaan yang mapan. Tapi perempuan itu tidak putus asa.
Sedikitpun dia tak menyesali telah
menikah dengan lelaki pilihannya. Lelaki yang dia cintai
karena
kecerdasan dan kegigihannya. Lelaki yang amat dia hormati,
yang dia tahu selalu berupaya sungguh-sungguh untuk
membahagiakan, dan membuatnya merasa seperti seorang putri.

Dan kenyataan bahwa mereka tinggal di rumah kontrakan yang
nyaris mau runtuh, dengan kamar mandi jelek, dan serangga di
mana-mana yang kerap membuat menimbulkan ruam merah pada
kulitnya yang putih. Perempuan itu tidak pernah sedikitpun
mengeluh.

Lalu anak pertama lahir. Gagah, dengan alis tebal nyaris
bertaut. Dia dan suami menerima kehadiran pangeran kecil itu
dengan hati berbunga. Meski mereka
harus berhutang ke sana ke mari agar biaya kelahiran yang
melalui
prosedur caesar itu, bisa dilunasi. Sekali lagi, perempuan itu
tidak pernah mengeluh.

Hidup baginya adalah rentetan ucapan syukur kepada yang kuasa,
dari waktu ke waktu. Ketika anak kedua mereka lahir, roda
ekonomi keluarga telah jauh lebih baik. Laki-laki yang
dicintainya mendapatkan pekerjaan yang mapan. Mereka tak lagi
bingung memikirkan kebutuhan sehari-hari, makan, lalu susu buat anak-anak.

Perempuan yang saya kenal sejak lama itu, membantu suaminya
dengan bekerja paruh waktu bagi sebuah taman bermain anak-anak
yang cukup prestise. Seiring
kehidupan yang mulai membaik, perempuan itu tak lagi
mengerjakan semua sendiri. Apalagi seorang buah hati lagi
telah hadir.

Sang suami memintanya lebih konsen kepada pekerjaan paruh
waktu yang digeluti istrinya. Tahun ke empat pernikahan mereka
mulai menyewa baby sitter, ketika
itu si bungsu belum lagi berusia sepuluh bulan.


Lalu datanglah kesempatan bagi sang istri. Lembaga tempat dia
bekerja paruh waktu, menawarkan program training ke luar
negeri. Awalnya sang istri ragu, sebab dia khawatir
meninggalkan anak-anak selama dua pekan. Tetapi lelaki yang
dicintainya memberikan support dan mendorongnya untuk pergi,

"Ini pengalaman bagus buat Ibu," kata lelaki itu.
Dan ketika dia ingin membantah, lelaki itu menggelengkan
kepalanya, "Perempuan lain ingin mendapatkan pengalaman
berharga seperti ini. Ibu harus pergi. Gak apa. Ada mbak yang
menjaga anak-anak."

Dengan setengah hati perempuan berwajah manis itu meninggalkan
keluarganya. Selama dua pekan di sana dilaluinya dengan rindu
yang menyiksa, dan perasan
berat karena selalu terbayang anak-anak.

Naluri keibuannya rupanya tidak bisa dibohongi. Meskipun sang
suami selalu berkata semua baik-baik saja, perempuan itu
merasakan ada sesuatu yang terjadi. Dan perasaannya benar.

Anak bungsu mereka dirawat di rumah sakit karena demam
berdarah!
Suaminya yang takut membuatnya panik baru menjelaskan ketika
istrinya pulang ke tanah air.

"Maafkan ayah, ayah takut ibu bingung."
Perempuan itu menangis. Syukurlah kondisi putri mereka membaik
Tapi ada hal lain yang terjadi. Hal yang tak pernah diduganya,
hal yang membuat jantungnya luruh.

Suaminya jatuh cinta.
Perempuan itu sungguh tak percaya, ketika mendengarkan ibu
mertuanya menangis tersedu-sedu menjelaskan apa yang terjadi.

Dunia bahagia yang selama ini dibangunnya seakan runtuh.
Apalagi ketika mengetahu gadis cantik yang membuat suaminya
jatuh hati, adalah baby sitter yang
mereka sewa.

Mereka hanya berpegangan tangan. Tak lebih. Elak suaminya.
Tapi hati perempuan itu telanjur hancur. Harapan-harapan yang
dibangunnya seakan menguap. Suaminya berpaling. Lelaki yang
telah
membuatnya merasa seperti seorang putri, jatuh cinta lagi.
Tuhan... apa maksudmu dengan ini semua? Batin sang
istri yang terkoyak. Dengan hati hempas, dia memanggil baby
sitter mereka. Baru kali ini si perempuan memandang
lekat-lekat gadis berusia sembilan belas tahun itu.

Meskipun dari desa, wajahnya memang cantik dan ayu. Kulitnya
bersih, rambutnya yang panjang tampak begitu mengilat. Dulu
tak dikiranya
kecantikan lugu itu akan
memorakmorandakan rumah tangga mereka.

Perempuan itu duduk berhadapan dengan baby sitter yang
tertunduk salah tingkah.
"Sudah sejauh apa?'
Baby sitter itu mengelak. Tak mau berbicara lebih jauh.
"Apakah kamu menyukai Bapak?"
Baby sitter itu diam. Ragu. Lalu kepalanya pelan menggeleng.
"Saya tak keberatan jika bapak menyukaimu, dan kamu menyukai
bapak, Kalian bisa menikah!"
Saya kaget. Saya berada di sana , menemani perempuan yang telah
lama menjadi sahabat saya. Tetap saja kalimat terakhirnya
mengejutkan saya.

Si baby sitter cantik menggeleng. Lagi-lagi salah tingkah.
Saat itu suami si perempuan sedang berada di kantor, sehingga
mereka leluasa berbicara. Tidak jauh
dari mereka, mertua sahabat saya tampak menangis sesenggukan.
Sebaliknya wajah sahabat saya tampak sangat tegar.

Ketegaran itu baru runtuh ketika kami hanya berdua. Sahabat
saya
menangis. Belum pernah saya melihat air mata sebanyak itu
tumpah di wajahnya.

"Saya sedih," bisiknya, "Salahkah?"
Saya menggeleng. Kesedihan adalah teman kemanusiaan.
Tak apa.
"Ibu tadi cerita, bahkan ketika Andin sakit, Ayahnya memilih
menemani perempuan itu berobat, meski hanya flu biasa, dan
meninggalkan Andin diperiksa hanya
dengan ibu,"

Ah, lelaki begitu mudahkah larut dalam pesona?
Saya kehilangan kata-kata. Percuma mengibur, apalagi
berkata saya mengerti perasaannya. Saya tak ingin
berbasa basi yang tidak perlu.

Kehidupan berlanjut. Suami perempuan itu mengakui
kesalahannya, dan berjanji tidak akan mengulangi. Lelaki itu
memohon-mohon agar sang istri mau memaafkannya.

"Bisakah?" tanya saya suatu hari. Ketika itu tahun-tahun sudah
berlalu begitu banyak.
"Saya tidak tahu," jawab sahabat saya.
Selalu dan selalu, matanya yang cerah meredup setiap teringat
kisah itu. Barangkali memang ada beberapa luka yang tak bisa
sembuh, bahkan oleh waktu.

Enam bulan setelah kejadian itu, sahabat saya memang sempat
bercerita perasaannya setiap kali suaminya mendekati,
"Saya merasa jijik," ujarnya dengan wajah bersalah.
"Tak apa, semua perlu waktu. Lagian yang terjadi tidak
sejauh itu. Jangan menyiksa pikiran,"
"Tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi?"
Saya diam. Sahabat saya benar. Hanya suaminya dan si baby
sitter yang tahu segala. Mereka terkadang pergi ke luar rumah
berdua. Dulu terasa biasa saja mereka
hanya ke warung, atau apotik. Entahlah.

Ketika saya meminta izin menuliskan cerita ini, sahabat saya
mengiyakan, meski dia masih belum lagi sembuh dari kesedihan.
Memang tidak ada perceraian. Sang suami tampak
bersungguh-sungguh menjaga keutuhan
keluarga mereka. Apalagi ada anak-anak diantara keduanya.

"Dia bapak yang baik!" papar sahabat saya suatu hari.
Kehidupan memang terus berjalan. Satu peristiwa, satu hati
yang berdarah. Satu hati yang belum juga sembuh.
"Kami masih tidak bisa bersama," jelasnya.
Saya mengerti. Peristiwa itu seolah membekukan semua
kehangatan dan keceriaannya sebagai seorang istri. Sang suami
tak memaksa. Menjalani saja kehidupan apa adanya. Anak-anak
lebih penting.

Entah sampai kapan mereka bisa bertahan, saya tidak tahu. Tak
juga mau menduga-duga. Saya cukup senang akhirnya sahabat saya
bisa mendapatkan kepercayaan diri yang sempat hancur ketika
menyadari sosok perempuan yang telah merebut hati
suaminya, tak hanya lebih cantik tapi juga jauh lebih muda.
Perlahan sahabat saya mencoba melupakan apa yang terjadi.
Padahal dunia sempat terasa berhenti baginya.

Hubungan normal layaknya suami istri memang sudah patah, akan
sulit merekatkannya kembali. Tapi saya mengagumi semangatnya
mempertahankan pernikahan, dan tetap menjalaninya penuh
syukur. Perempuan itu bahkan pasrah jika karena
ketidakmampuannya sekarang, dikarenakan ulah sang suami,
mungkin justru mengakibatkan sang suami menikah di
belakangnya.

"Dulu hal itu perkara besar buat saya, tapi sekarang..."
sahabat saya itu tertawa.
Sebenarnya banyak yang ingin saya tanyakan padanya. Apakah dia
bahagia? Apakah suaminya bahagia? Kenapa tidak bercerai dan
sama-sama memulai yang baru?
Sebagian orang mungkin akan berpikir begitu. Hidup terlalu
singkat untuk larut dalam ketidakbahagiaan.

Betapapun saya menghormati komitmen keduanya. Juga perkataan
sahabat saya, yang akan selalu saya ingat, " Ada hati-hati
kecil yang harus dijaga, Asma. Setiap
mengingat mereka, maka luka-luka lain menjadi kalah penting.
Kebahagiaan saya sempat runtuh, tapi kebahagiaan ketiga anak
saya tidak. Dan saya harus
bisa menjaganya. Sekuat saya."

Tidak ada komentar: