Kamis, 12 Maret 2009

KONDISI UBUDIYAH MUSLIM MASA KINI

Muslim memiliki tujuan hidup untuk mempersembahkan ibadah dan seluruh karya baktinya sebagai ibadah kepada Allah swt. Karena itu embicarakan kondisi ibadah saat ini adalah urgent dan sangat strategis dalam rangka mecari jalan keluar untuk membangun kembali peradaban umat muslimin. Kondisi ibadah mahdhah ummat Islam yang paling mendasar merupakan tujuan hidupnya. Bahwa sebagian besar pribadi muslim tersebut tidak sempurna dalam melaksanakan ibadah dan dzikir ibadahnya, sehingga tidak khusyu’ , tidak adanya proses berfikir (‘aliman), memahami ( tafahhum), menghayati (tafakkur), sehingga mampu berdzikir lebih sempurna dengan bahasa hati pada Allah swt (dzikir qolbiyah ilahiah). Dengan demikianmaka Allah belum memberikan keberuntungan kepada kaum mulimin, seperti yang di janjikan-Nya dalam Q.S. al Mu’minun (23) : 1-2.
Kondisi muslim dewasa ini yang bisa khusyu’ sepertinya hanya kaum alim ulama saja(itupun sebagian), penganut Islam yang biasa-biasa (Islam KTP) sepertinya dibiarkan untuk tidak aka bisa atau tidak akan mampu mecapai tingkat khuyu’. Ini adalah penyakit budaya Nasrani yang masuk dalam budaya Islam yang melihat alim ulama sebagai suatu kelas yang memiliki wibawa yang lebih tingi kalau tidak dikatakan luar biasa. Mereka tidak menyadari bahwa Allah swt telah berjanji bahwasanya jika sebagian saja ummat Islam telah mampu dan berusaha untuk melaksanakan da mendirikan sholat dengan khusyu’ niscaya Allah telah memberikan keberuntungan. Karena kita tidak menembangkan suau metodologi yang bisa dipakai oleh setiap muslim untuk melaksanakan sholat denan khusyu’.
Shalat adalah tiang agama, dienul Islam. Karena itu shalat merupakan ibadah yang utama dan penting dalam menegakkan agama Allah. Di akhirat kelak Allah akan menanyakan terlebih dahulu tentang kualitas shalat pada diri kita. Jika dalam melaksanakan shalat saja, umat Islam tidak mengerti apa yang diucapkannya, bagaimana mungkin ia akan mencapai tingkatan khusyu’ dalam shalatnya; padahal, khuyu’nya shalat adalah syarat untuk mendapatkan keberuntungan dan kemenangan. Q.s 23: 1-2) yang atinya : “ sesungguhya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang0orang yang khusyu’ dalam shalatnya”.
Para sahabat bisa mencari pengalaman dari para tetanga di mushalla sahabat sendiri. Tanyakanlah arti lafadz-lafadz tertentu dalam shalat, berapa persen dari jamaah itu yang mengerti arti suatu lafaadz, katakana misalnya : warfa’nii, wa’aafinii, attahiyyatul, iyya kana’budu dan lainsebagainya. Umumnya, lebih dari 60%, bahkan kadang-kadang lebih dari 85% para jamaah tidak tahu arti dari lafadz-lafadz dimaksud. Lalu, bagaiman seseorang berkomunikasi dengan Tuhannya, jika ia tidak tahu apa yang di ucapkan dengan lisannya? Hanya karena hafalan, sama dengan meghafal lagu berbahasa Inggris atau Cina untuk mereka yang tidak megerti bahas Inggris dan Cina. Apa yang diperoleh dari tingkat kekhusyu’an seorang yang berkomunikasi dengan tuhannya jika tidak tahu arti, tidak mengerti apalagi memahami dan menghayati lafadz yang di ucapkan dengan lisannya. Sahabat telah sangat terbiasa menghafal-hafalkannya sejak kecil, sehingga sangat sulit bagi sahabat untuk mencoba kembali mengetahui arti dan pemahamannya.
Degan kata lain, keterpurkan kehidupan dan peradaban kaum muslimin dewasa ini adalah karena muslim itu tidak melakukan ibadahnya dengan khusyu’, karena tidak mengerti, tidak memahami dan selanjutnya tidak menghayati dalam shalatya, karena hanya menghafal-hafalkannya saja, padahal shalat adalah tiang agama Islam. Tidak khusyu’ beribadh karena tidak dilakukan dengan proses dzikir yang melibatkan fikir, tafahhum, dan tafakur (menghayati, melakukan proses penyadaran batin). Asumsinya, jika mencapai tingkat khusyu’, insyaAllah, Allah akan mengaruniai cahaya-Nya, berbentuk hudan, petunjuk, ide ilham, kesempatan setiap saat, kesempatan tidak terhingga, gerak hati manusia dan lain-lain, yang membuka peluang bagi yang bersagkutan untuk : 1) merenungkan kembali prestasi ibaah ritualnya dengan kodisi keimanan/aqidah yang telah dimilikinya, sehingga terjadi penyempurnaan keimanan dan aqidah dengan lebih bercahaya; 2) terjadinya proses penghayatan dan penyadaran yang dengan hidayah dan petunjuk-Nya itu akan mengarahkan cara berfikir, bersikap dan berperilaku menurut akhlak yang lebih mulia; 3) mengembangkan nafsu, iradahnya yang sekaligus memadukan dengan pengambangan kemampuan untuk mengendalikan nafsu, dalam kerangka mengembangkan rasa takut pada Allah untuk berbuat kemungkaran.
Akhlak mulia yang Sahabat dambakan dari setiap pribadi muslim bukan saja dalam arti berbuat baik pengertian charitisme, berderma, tetapi juga dalam hal berbuat yang lebih produktif, lebih berkinerja lebih tingi dan berkualitas tidak saja di bidang ekonomi,social, politik, tetapi juga di bidang budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang paling modern sekalipun. Akhlak mulia yang demikian itulah yang memungkinkan seseorang muslim mampu berkiprah melaksanakan misinya sebagai Khalifah Allah dimuka bumi.
Jadi secara umum kualitas Iman dan Ibadah ritual kaum muslimin dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. kondisi lemah dan mendangkalnya iman dan aqidah kaum muslimin, sehinga terdapat banyak kaum muslimin yang kurang percaya apalagi yakin bahwa segala sesuatu kenyatan di alam ini ( input, proses, output, apapun yang menyangkut dengan keberhasilan usaha dan ikhtiar seseorang dan klompok orang mutlak ditentukan oleh Allah swt. Kondisi lemahnya iman ummat Islam Indonesia antara lain karena salah asumsi : karena kita telah diangap beriman sejak lahir ( kenyataannya dilahirkan secara Islam, Muslim), asumsi yang dipegang bahwa kita telah beriman, padahal kenyatannya iman kita sangat dkal. Karena asumsi itu, tidak ada upaya untuk memperbaiki kualitas iman, kecuali menghafal enam rukun iman dan sifat 20 Allah.
2. Tidak mengerti apa yang diucapkan dalam ibadah-ibadah mahdhoh, terutama sholat sehinga tidak memahaminya, tidak mampu menghayatinya, tidak terjadi proses penyadaran batin pada diri yang beribadah, sehingga tidak memiliki dampak pada perubahan pola pikir, bersikap, berakhlak dan berperilaku.
3. Tidak berusaha dengan sungguh-sungguh, tidak terbiasa, tidak terlatih, dan tidak efektif melakukan ibadah secara khusyu’ sehingga tidak terjalin komunikasi qolbiyah illahiyah.
4. Kurang bahkan sebagian besar tidak memperhatikan pada mutu kelancaran proses dialog, bermunajat pada Allah dalam menyampaikan pesan dari seorang hamba kepada penciptanya.
5. Karena tidak terjadi dialog, tidak ada pesan yang lebih sempurna disampaikan kepada Allah, sehingga Allah tidak memberikan sesuatu ‘ keberuntungan, kemenangan’ kepada umat muslimin; terang saja, umat Islam itu sendiri tidak sadar akan nasibnya, dan tidak menyampaikan pesan dalam dialog itu, untuk perubahan nasibnya dan perubahan anak cucunya.
6. Lebih cenderung berorientasi fiqiyah, terpaku pada sah dan tidaknya rukun dan sarat, kurang mampu memperhatikan bagaimana memper- besar peluang diterimanya ibadah tersebut oleh Allah swt.(maqbul atau mabrur ibadahnya.
7. Terlalu banyak yang dipelajari dari komunias tertentu, terlalu sedikit yang dimengerti, dan karenanya terlalu sedikit pula yang di amalkan; misalnya anak-anak kelas dua atau tiga sudah di ajarkan teknis melaksanakan ibadah haji, meghafal aturan-aturan zakat bijibijian, ternak, bahan tambang dll.
8. Melaksanakan asal memenuhi kewajiban, asal sudah melakukan. Kurang disadari atau merasa sebagai kebutuhan untuk suatu kehidupan dan berprestasi.
9. Lafadz yang terkandung dan diucapkan dalam ibadah diutamakan pada hafalannya bukan pada penertian dan makna yang dimengerti, dipahami, dihayati sehingga merupakan suatu proses penyadaran batin.
10. Wirid ba’da shalat yang cukup panjang ketimbang kondisi dzikir (proses penghayatan dzikir) disetiap waktu dan tempat, dikala berdiri, duduk, dan berbaring.
11. Asal banyak ibadah sunnah kurang mementigkan kualitas komunikasi Qolbiyah Ilahiyahnya.
12. Pahala di akhirat, bukan pada ber -lomba-lomba berbuat kebajikan di dunia sebagai bekal untuk mendapatkan pahala di akherat.
13. Dakwah billisan ketimbang berimbang- nya dengan dakwah bil haal.
14. Berdasarkan tata pikir mendunia yang cenderung mengekploitasi alam dan manusia, ketimbang pada berfunsinya ajran pemeliharaan dan keseimbangan lingkugan yang diajarkan Allah.
15. Sikap fatalism: sikap berserah diri pada ketentuan nasib, kurang mementingkan semangat kerja, sehiga kurang ikhtiar utuk memperbaiki nasib dunia.

Utuk itulah sahabat perlu menemukan kembali suatu bentuk, funsi, peranan, cara berfikir, sikap, perilaku, dan metodologi da’I dan dkwah Islam yang memungkikan peradaaban Islam bangkit kembali sebagaimana sahabat telah belja dari sejaarah perkembann peradabaan Islam sebelumya(masa kejayaaaan Islam). Mari kita kaji bersama lewat Forum Mahasiswa dan Santri.

Tidak ada komentar: